Dasar filsafat atau tattva Hindu di Bali menunjukkan ajaran yang monistis, yaitu menganggap segala sesuatu itu berasal dari Brahman dan dianggap sama dengan Brahman.
Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tercantum dalam kitab Veda, yaitu kitab suci Hindu yang merupakan Sruti, yakni wahyu dari Tuhan. Karena Veda adalah kitab suci, maka Veda itulah merupakan sumber pokok ajaran agama Hindu.

Sebagaimana tercantum dalam kitab Manavadharmasastra II.6. sebagai berikut:
" Idanim dharma pramananyaha; Vedo' khilo dharmamulam Smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam Atmanastutireva ca".
Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci, akhirnya kepuasan dari pribadi.
(Pudja, dan Sudharta,1996: 62).
Selanjutnya Manavadharmasastra XII.95. menyebutkan:
" Ya veda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvasta nisphalah pretya tamo nistha hitah smrtah".
Semua Smrti dan semua sistem filsafat yang rendah yang tidak berdasarkan Veda, tidak akan membawa pahala sesudah mati, karena dinyatakan didasarkan atas kegelapan.
(Pudja, dan Sudharta,1996:741).
Filsafat atau Tattva adalah salah atu aspek ajaran agama Hindu, maka filsafat atau tattva itupun sumber pertamanya adalah Veda dan Smrti.
Dilihat dari sejarah pertumbuhan seluruh Veda itu di mana pengembangan sistimatikanya tidak saja dilihat dari segi fungsi dan penggunaannya saja tetapi juga dilihat dari aspek bentuk kejadiannya.

Dalam hal ini ada tiga hal dalam Veda, yaitu:

  1. Kelompok Mantra, yaitu: Rgveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda.
  2. Kelompok Brahmana, yaitu kelompok kitab Sruti yang merupakan penjelasan pokok untuk tiap-tiap mantra, khusus di bidang yajna karma. Karena itu kelompok ini disebut kelompok Karma Kanda.
  3. Kelompok Upanisad atau Aranyaka, yaitu: yang merupakan kelompok ketiga yang fungsi dan kedudukannya sama denga kitab Brahmana hanya saja khusus di bidang pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Oleh karena itu kitab ini merupakan kitab rahasia (Rahasya Jñana), yang paling penting dan merupakan kitab Jñana Kanda.( Pudja, 1983-1984: 36).

Dari ketiga kelompok Veda ini yang menjadi sumber pembahasan Filsafat/ Tattwa adalah Jñana Kanda. Sistem filsafat yang mengakui otoritas Veda, banyaknya enam aliran yang disebut Sad Darsana.
Darsana adalah istilah yang umum untuk menunjuk sistem filsafat India. Kata ini diturunkan dari urat kata drs yang berarti memandang. Maka Darsana berarti pandangan terhadap sesuatu. Sehingga Sad Darsana berarti enam sistem pandangan terhadap sesuatu.

Mereka mempunyai perbedaan pandangan akan satu kebenaran. Dalam hal ini bukan kebenaran itu yang berbeda-beda melainkan hanya caranya yang berbeda di dalam memandang sesuatu. Semua sistem filsafat ini percaya dengan adanya hukum karma, punarbhawa, dharma dan moksa. Ajaran-ajaran ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dalam bentuk sutra yaitu suatu bentuk rumus-rumus dalam kalimat-kalimat yang pendek.
Tujuan penulisan yang demikian adalah untuk memudahkan menghafalkannya dan mengulanginya waktu guru mengajarkanya kepada para muridnya.

Sad Darsana, yaitu:

  1. Saṁkhya : Menurut tradisi yang mula-mula mengajarkan ajaran Saṁkhya ialah Rsi Kapila. Saṁkhya mengajarka ajaran yang sistematis tentang proses perkembangan kejadian alam semesta.
  2. Yoga : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Patanjali. Yoga mengajarkan latihan mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Ajaran Patanjali lebih dikenal dengan Yoga Sutra Patanjali, yang meliputi delapan tahapan dalam yoga yang disebut Astangga Yoga.
  3. Nyaya : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Gotama. Kadang-kadang beliau juga memakai Aksapada atau Dirghatapa. Pokok ajaran Nyaya adalah logika (Tarka Vada).
  4. Vaisesika : Pendirinya adalah Rsi Kanada. Beliau juga terkenal dengan nama Kanabhaksaka. Vaisesika mengajarkan tentang pengetahuan yang menuntut orang untuk realisasi sang diri.
  5. Mimamsa : Ajaran Mimamsa didirikan oleh Rsi Jaimini. Ajaran ini mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran dharma, lebih menekankan kepada ritual dan etika dari pada ajaran filsafat.
  6. Vedanta : Vedanta artinya akhir dari Veda. Ajaran ini disebut juga Uttara Mimamsa Vedanta, merupakan puncak filsafat India yang berdasarkan atas ajaran Upanisad. Pokok ajaran Vedanta ialah membicarakan hubungan antara Tuhan dengan dunia, antara Atman dengan Paramatma. Tokoh pendiri Vedanta adalah Rsi Badrayana. Di dalam kitab BhagavadgitaVedanta disebut Brahma Sutra.(Sura,1984:13).

Sedangkan sistem filsafat yang ada di Bali dikenal secara umum dengan Tattwa. Kata Tattva itu berasal dari bahasa Sanskerta yang dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kebenaran atau kenyataan.
Dalam lontar-lontar di Bali kata Tattwa inilah yang dipakai untuk mengatakan kebenaran itu. Karena dalam memandang kebenaran itu berbeda-beda, maka kebenaran itu tampaknya juga berbeda-beda, sesuai dengan segi memandangnya, walaupun kebenaran itu tetap satu adanya.

Lontar-lontar yang memuat tentang Tattwa di Bali adalah: Bhuvana Koṣa, Bhuvana Samksepa, Jñana Siddhānta dan ada juga yang langsung memakai nama Tattva, seperti: Ganapati Tattva, Vṛhaspati Tattva, Tattva Jñana, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya semua lontar itu mengandung ajaran Śivaistis. Sebab kita ketahui agama Hindu di Bali mendapat pengaruh yang sangat kuat dari aliran Śiva Siddhānta.

Dari semua sistem filsafat India yang paling banyak memberikan pengaruh terhadap sistem Tattwa di Bali adalah ajaran Saṁkhya, Yoga dan Vedanta. Sistem filsafat Saṁkhya dan Yoga sering pula dijadikan satu istilah yaitu Saṁkhya Yoga.
Kedua system ini sangat jelas memberi pengaruh pada sistem Tattwa di Bali. Yang mana hal ini dapat kita jumpai dalam Aji Saṁkhya dengan konsepsi dualistisnya yaitu Purusa dan Prakerti yang dianggap sebagai awal dari segala-galanya.

Hanya saja Saṁkhya ajarannya bersifat Nir Isvara Saṁkhya, yaitu tidak membicarakan masalah Tuhan. Sedangkan filsafat Yoga menerima secara mutlak ajaran Saṁkhya yang banyaknya 25 asas unsur dasar (tattva), yaitu: Purusa, Prakrti, Mahat, Ahamkara, Manas, Panca Budhindrya, Panca Karmendrya, Panca Tan Matra dan Panca Maha Bhuta.
Sesudah diambil oleh Yoga menjadi 26 asas dasar (tattva), yakni dengan tambahan Isvara (Sa Isvara Saṁkhya), itulah sebabnya disebut dengan Saṁkhya Yoga.

Maka jelaslah dalam filsafat Saṁkhya Yoga adalah timbul konsep 2 + 1, yaitu: Purusa-Prakrti + Isvara.( Kempers, 1977: 68). Maksudnya adalah Isvara atau Tuhan itulah sebagai sumber yang menciptakan Purusa dan Prakrti. Konsepsi ini akan lebih jelas pada sistem filsafat Vedanta.
Vedanta adalah suatu sistem yang membicarakan bagian Veda yang tergolong Jñana Kanda yakni Upanisad. Kitab-kitab Upanisad sendiri juga disebut Vedanta yang berisi maksud Veda yang sebenarnya.

Yang jelas bahwa kitab-kitab Upanisad, mengandung suatu ajaran yang monistis dan absolutis, maksudnya adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.

Di dalam kitab-kitab Upanisad ada beberapa penjelasan tentang Brahman, yaitu:
Brahman adalah Dewa tertinggi, yang lebih kuasa dari para Dewata yang lain, Dewa yang menjadi Dewanya para Dewata atau Tuhan segala yang diper-Tuhan. Pada kitab Kena Upanisad ada disebutkan, bahwa Dewa Agni dan Dewa Vayu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Brahman. Jadi api akan dapat membakar dan angin akan dapat menghamburkan segala sesuatu kalau mendapat kekuatan dari Brahman.

Disebutkan sebagai berikut:
"Sa brahmeti hovaca, brahmano va etad vijaya mahiyadhvam iti, tato haiva vidamcakara brahman iti". 
(Kena Upanisad IV. 1). 
Ia menjawab; Ini adalah Brahman, untuk meyakini-Nya dan dalam kejayaan Brahman, sesungguhnya menyebabkan engkau jaya seperti itu. Hanya dengan demikianlah Ia mengenal Brahman itu. (Pudja, 1983: 32).

Berdasarkan ungkapan di atas jelaslah Brahman adalah sumber segala kekuatan, bagaikan api baru dapat membakar kalau ada kekuatan dari Brahman, Demikian juga angin baru dapat meniup sesuatu kalau telah mendapat kekuatan dari Brahman.
Brahman adalah sumber dari Dewata. Di dalam kitab Taitiriya Upanisad, disebutkan bahwa Dewa Mitra, Varuna, Aryaman, Indra, Brhaspati, Visnu adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya ada satu sumber yaitu Brahman.

Di dalam kitab Isa Upanisad.1, disebutkan:
"Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat, tena tyaktena bhunjitha ma grdhah kasya svid dhanam". 
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Isa ( Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak menginginkan milik orang lain. ( Pudja,1990:31). 
Berdasarkan kutipan tersebut di atas jelaslah Tuhan pencipta segala-galanya, oleh karena itu Dewa adalah ciptaan Tuhan.
Di samping pandangan seperti tersebut di atas ada juga pandangan yang lain, bahwa Brahman ada yang transendent, yang berada di luar alam semesta dan ada juga Brahman yang imanent yang berada dalam alam semesta dan di dalam diri manusia.

Pandangan inilah yang diikuti oleh tokoh Vedanda Sankara, mereka memandang ada dua wujud (rupa) dari Brahman, yaitu bentuk atau rupa yang lebih tinggi, yang tanpa sifat, yang disebut Para Brahman atau Nirguna Brahman dan bentuk atau rupa yang lebih rendah yang memiliki sifat-sifat, yang disebut Apara Brahman atau Saguna Brahman. Tetapi pada hakekatnya Brahman itu adalah tanpa sifat, tanpa bentuk dan tidak ada pembatasan.
Agar Tuhan dapat dipuja, disembah, maka Brahman akan menjadi lebih rendah, yaitu dengan mengenakan pembatasan-pembatasan. Sekalipun demikian bahwa pembatasan-pembatasan itu adalah khayalan. Jadi Brahman tidaklah rangkap dan tanpa hubungan dengan apapun dan hanya Brahman yang ada.

Tetapi kita harus mengakui bahwa berdasarkan kepercayaan kita Brahman lah yang menciptakan dunia ini, tetapi khayalan kita, sebenarnya dunia ini adalah penampakan Brahman yang khayali.
Pada hakekatnya dunia ini adalah karena maya.
Dengan adanya maya inilah kita melihat Para Brahman sebagai Apara Brahman atau Nirguna Brahman sebagai Saguna Brahman. Maka yang disebut saguna Brahman adalah Brahman yang bersatu dengan maya, yang menjadi sebab adanya dunia beserta isinya (Hadiwijono,1971: 82).

Bertitik tolak dari konsepsi tersebut di atas jelaslah bahwa ajaran agama Hindu menganut faham monotheis dan juga bersifat monistis.

Monotheis adalah Percaya dengan adanya Yang Maha Esa dan Monistis berarti bahwa Tuhan sebagai asal mula dari segala-galanya dan semuanya itu adalah Tuhan sendiri.

Sistem Tattva di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Saṁkhya Yoga dan Vedanta. Demikian juga halnya agama Hindu di Bali lebih banyak dipengaruhi oleh Śiva Siddhānta.

Dalam ajaran Śiva Siddhānta memandang para deva , seperti : Brahma, Visnu, Isvara, Mahadeva dan sebagainya dihormati dan dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena dewa-dewi itu tiada lain dari manifestasi Śiva (Tuhan), sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan Śiva Siddhānta kalau ditinjau dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka ajaran Śiva Siddhānta merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme.
Kitab ini dikenal dengan nama Veda Sirah, adalah petikan-petikan dari Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah berarti pokok-pokok Veda atau inti sari Veda.

Vrhaspati Tattva adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattva dan Tri Purusa Tattva.

Yang dimaksud dengan Rva Bhineda Tattva adalah unsur utama yang menjadikan adanya segala sesuatu, yakni Cetana yang merupakan unsur kesadaran dan Acetana yang merupakan unsur ketidaksadaran.

Sedangkan Tri Purusa Tattva adalah pertemuan kedua unsur Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma. Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang Esa.
Maka untuk membayangkan Tuhan yang serba abstrak dan sebagai metode dalam rangka menumbuhkan keyakinan adanya Tuhan, maka dibuatlah sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia.

Paramaśiva adalah Cetana/Purusa atau kejiwaan/kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci, murni, sama sekai belum kena pengaruh maya (Acetana/Pradhana/Prakrti), tenang, tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar Nirguna Brahman (Para Brahman).

Dalam Vrhaspati Tattva 7-10, disebutkan:
"Paramaśiva tattva ngaranya: Aprameyam anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam isvaram". (Vrhaspati Tattva.7)
"Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam anaupamyam anadrsyam vimalatvad anamayam". (Vrhaspati Tattva.8)
"Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam nityakarena sunyatvam acalatvacca tad dhruvam". (Vrhaspati Tattva.9)
"Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca Siwa tattvam idam uktam sarvatah parisamsthitam". (Vrhaspati Tattva.10)

Yang disebut Paramaśiva Tattva adalah: Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.

Tak dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat dikotori, karena Dia tak bernoda. Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada di mana-mana, karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu langgeng karena Dia tak bergerak. Tak pernah berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah Śiva Tattva (Paramaśiva Tattva) yang menempati segala-galanya.

Dengan itu telah terbayang dalam pikiran kita bahwa Tuhan sebagai Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan suci murni, maka tidak ada sesuatu yang dapat mempengaruhi-Nya, sehingga sukarlah untuk memberi pembatasan dan memang Dia tak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.

Sadaśiva adalah Tuhan yang sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana), maka Dia mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini diberi sebutan Sadaśiva yang Saguna Brahman.

Dalam Tattwa di Bali, Sadaśiva paling banyak mendapat perhatian dengan berbagai nama dan manifestasinya yaitu Hyang Widhi. Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai simbol Tuhan.

Śivātma adalah unsur kejiwaan yang lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di mana kesadaran-Nya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu unsur kesadaran aslinya yang murni dan lagi telah terpecah-pecah, serta menjadi segala makhluk, khususnya manusia, maka akhirnya di sebut Atmā / Roh (lapisan tubuh energi).
Jadi Atmā / Jiwātma adalah merupakan bagian dari Śivātma (Jiva), Atmā / Jiwātma fungsinya memberikan energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk.
Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana Dia telah kena pengaruh maya, sehingga mulai mempunyai sifat, fungsi, dan aktivitas. Namun pengaruh maya belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaan-Nya, sehingga kesadaran aslinya yang suci murni terselubung.
Adapun sifat kemahakuasaan Sadaśiva, meliputi : Guna, Sakti dan Swabhawa.

Guna meliputi tiga sifat, yang mulia, yakni:

  1. Dura Darsana, yaitu: brpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.
  2. Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.
  3. Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.

Yang disebut Sakti Sadaśiva, ada empat macam (Cadu Sakti), yaitu:

  1. Vibhu Sakti, yaitu: berada pada segala yang ada dan amat gaib.
  2. Prabhu Sakti, yaitu: maha kuasa, menguasai segala-galanya, serta tidak ada yang memadai kekuasaanNya.
  3. Jñana Sakti, yaitu: maha tahu, sumber segala kebijaksnaan, sehingga dapat mengetahui segala-galanya.
  4. Kriya Sakti, yaitu: maha karya, dapat mengerjakan segalanya dengan sempurna.

Sedangkan yang dimaksud dengan Asta Aisvarya, adalah delapan sifat kemahakuasaan Sadaśiva,
yaitu:

  1. Anima, yakni: bersifat sangat kecil sekecil-kecilnya.
  2. Laghima, yakni: bersifat maha ringan.
  3. Mahima, yakni: bersifat maha besar.
  4. Prapti, yakni: bersifat dapat mencapai segala-galanya.
  5. Prakamya, yakni: Bersifat berhasil dalam segalayang dikehendaki.
  6. Isitva, yakni: bersifat merajai segala-galanya.
  7. Vasitva, yakni: bersifat maha kuasa.
  8. Yatrakamavasayitva, yakni: bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan maha kuasa.

Dengan sifat kemahakuasaannya itulah Tuhan sebagai Sadaśiva melakukan kriya-Nya dalam mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya, menurut ketentuan waktu utpeti, sthiti dan pralina.
Secara simbolik Dia dianggap bersinggasana di tengah-tengan bunga teratai yang disebut dengan Padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma yang artinya bunga dan asana yang berarti sikap atau tempat. Maka Padmasana berarti sikap atau tempat duduk yang berwujud bunga teratai.

Bunga teratai adalah bunga yang dianggap suci dan sering dipakai persembahan dalam upacara keagamaan. Hal ini mungkin didasarkan atas suatu logika, bahwa kendatipun bunga teratai itu tumbuh dalam lumpur, namun bunganya tidak pernah dilekati oleh lumpur. Maka itu bunga teratai disebut juga dengan pangkaja yang berarti tumbuh dalam lumpur. Demikian pula sikap bunga teratai ujungnya selalu muncul ke atas air dan kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah kiblatnya mata angin.

Padmasana dalam masyarakat Bali diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, yang puncaknya terbuka seperti kursi dan berisi perlengkapan Bedawangnala, Naga Anantabhoga, sebagai dasar, penumpu dan pengikat bangunan suci itu.

Bangunan Padmasana secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Sadaśiva. Di samping itu pula juga lukisan Padma yang berdaun delapan, yang disebut dengan Padma Asta Dala.

Ini dianggap simbol Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit dan dipakai perlengkapan upacara serta dipakai sarana untuk mendapat kekuatan.