Stigma Negatif Sekte, Aliran dan Sampradaya di Bali

Sekte atau sekta, aliran dan sampradaya tidak dapat dipungkiri memiliki konotasi negatif di kalangan umat Hindu di Indonesia. Kata sekte sendiri bukan merupakan kosa kata Hindu, namun sangat popular, diantaranya karena kosa kata ini digunaka oleh Goris dalam bukunya yang terkenal Sekte-Sekte di Bali (1974). Sempalan adalah kata lain yang konotasinya lebih kasar yang kerap digunakan untuk menunjukkan suatu golongan yang hanya merupakan bagian kecil dari agama yang sempurna.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sekte merupakan kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama, yang lebih lazim diterima oleh penganut agama tersebut. Sekte juga disebut mazhab. Kata sekte berasal dari istilah Bahasa Latin secta (dari sequi, mengikut).  Sectarius atau sectilis juga merujuk kepada pemotongan. Dalam sosiologi agama, sekte umumnya adalah sebuah kelompok keagamaan atau politik yang memisahkan diri dari kelompok yang lebih besar, biasanya karena pertikaian tentang masalah-masalah doktrin.

Bali yang mengambil peran sebagai poros Hindu nusantara setelah runtuhnya kerajaan Hindu di Sumatera, Jawa maupun Sulawesi. Bali menjadi tempat berkembangnya umat Hindu. 

Namun Goris telah merusaknya melalui penelitian dan tulisannya yang terkenal dengan perspektif Baratnya, dengan menyebut seolah-olah terjadi benturan ideologi bahkan bentrok fisik antar kelompok pemuja. Bahkan menurut pendapat Ida Rsi Bhujangga Sri Satya Jyothi, Goris sangat banyak membuat kesalahan dalam sejumlah tulisannya yang sangat terkenal. Diantaranya adalah Goris menggunakan sumber-sumber yang dekat dengan penguasa sehingga dalam sejumlah analisis dan kesimpulannya hanya sesuai dengan pendapat golongan Brahmana yang berkuasa saat itu. Demikian pula penggunaan lontar-lontar sebagai bahan rujukan hanya sebagian besar diperoleh dari sejumlah gria pedanda yang justru sedang menekan golongan lain termasuk Bhujangga Waisnawa. Tulisan-tulisan Goris tentang keberadaan Bhujangga Waisnawa di Bali juga dianggap keliru karena menyamakan sengguhu dengan sengguhan.

Upaya penyeragaman agama di Bali masa kerajaan Udayana, kasus pelarangan barang-barang cetakan Hare Krsna tahun 1984 dan berbagai kampanye politik agama telah membangun stigma negatif terhadap kata sekte, aliran maupun Sampradaya. Konflik ideologi yang telah terlihat sejak tahun 1923, tergambar oleh perkumpulan Sūrya Kānta yang membawa gagasan pembaharuan dan Bali Adnyana yang digawangi oleh kaum Triwangsa. Kaum jaba menghendaki reformasi reformasi ke arah suatu kemajuan dan kesempurnaan yang holistis sesuai dengan kondisi jaman yang bercirikan pikiran bangsawan atau orang-orang yang berpendidikan Barat- mereka mencita-citakan achieved status, sedangkan kaum triwangsa lebih menyukai bangsawan tradisional mempertahankan status quo atau ascribed status (Atmaja, 2001:243). 

Bahkan konflik ideologi ini terarakhir munculnya dua organisasi umat, yaitu PHDI Samuan Tiga dan PHDI Besakih (Sudiana, 2007; Stuwart-Fox, 2010), yang sesungguhnya sangat merugikan dalam pengembangan Agama Hindu yang minoritas di Indonesia.

Stigma negatif sampradaya dan adanya sentimen anti ajaran India, sesungguhnya merugikan umat Hindu. Sebab, adanya menimbulkan sikap anti ajaran India dan menolak apapun yang datang dari India, termasuk mempelajari kitab Suci. Menurut ahli Veda Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D, pembelajaran kitab suci Veda secara umum masih rendah bagi umat Hindu di Indonesia. 

Beliau yang sudah menulis Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan sejak tahun 2006, hingga belasan tahun kemudian belum merasakan gairah umat dalam membaca Veda. Namun baru sebagian kecil saja tetapi sudah memberikan dampak yang besar, diantaranya dengan lahirnya sejumlah cendekiawan muda Hindu, politisi maupun ekonom Hindu. Lebih lanjut dinyatakan, banyak hal yang mestinya dipelajari dari sastra-sastra Veda seperti Arthaśāstra, Ānvikṣiki, Daṇḍanīti, Vārttā maupun Darsana untuk kebaikan umat manusia dan membangun Cendekiawan Hindu. 

Sentimen anti India telah berdampak pada jangka waktu yang sangat panjang, termasuk berdampak terhadap keengganan membaca literatur India termasuk Veda dan Bhagavad Gītā  serta lemahnya pembelajaran filsafat Hindu yang merupakan inti dan kekuatan dari agama. Padahal pembelajaran Veda, Bhagavad Gītā  maupun Filsafat Hindu mestinya sebagai kebutuhan mendesak belakangan ini. Bahkan masih ada anggapan umat Hindu di Bali "tidak memerlukan" pustaka suci. Sementara disisi lain, konversi agama dari Hindu terus terjadi yang disebabkan diantaranya karena nalar tidak dipuaskan dengan pengetahuan. 
Sehingga, kebijakan pelarangan yang ketika itu didukung oleh Departemen Agama dan PHDI Pusat dalam jangka panjang justru merugikan umat Hindu sendiri. Akibatnya, umat Hindu terbelah dan masih sulit untuk disatukan.

Pengaruh samuan tiga yang lebih dari 10 abad memang masuk akal mengubah sebuah komunitas tertentu demi sebuah keseragaman dan eksistensi. 

Veda adalah dasar dari agama Hindu dan titik awal dari filsafat sehingga mestinya sangat penting sebagai pencerahan umat. Tetapi tujuan mulia itu tampaknya belum disambut oleh semua kalangan. Namun demikian dengan terus berkembangnya semangat mempelajari Bahasa Sanskerta di Bali belakangan ini, akan terbangun semangat mempelajari Veda dan Susastra Hindu termasuk di dalamnya pembelajaran filsafat Hindu.

Pembelajaran Filsafat Vaisnava tampaknya juga belum menjadi agenda pada organisasi Bhujangga Waisnawa sangat menghargai pengetahuan dan didalam keluarga memang didorong untuk belajar bahkan sejak kecil. Pendidikan khas dalam keluarga Bhujangga yakni sejak kecil telah mendapatkan berbagai pelajaran termasuk membaca lontar. Ida Bhujangga Waisnawa Satya mengaku sejak kecil sudah diajarkan membaca lontar dan diajarkan tentang agama Hindu oleh ayah dan para tetua keluarga beliau. Bahkan beliau ingat ketika kecil ditanyakan oleh sejumlah tetangga karena aktivitasnya membaca lontar yang kala itu tidak lazim dilakukan oleh anak-anak. Sehingga, keluarga Bhujangga memang secara alami memiliki program keluarga untuk belajar agama dan difasilitasi oleh organisasi bagi mereka yang ingin mendalami suatu aspek dari Bhujangga Waisnawa. 

Wiana menyatakan salah satu penyebab lemahnya pembelajaran filsafat Hindu maupun pembelajaran Veda karena adanya anggapan beragama yang penting prakteknya, jangan banyak teori. 

Semestinya, kaum cendekiawan Hindu bersatu dengan membuat sejumlah program yang meningkatkan Jnana umat. Interpretasi tentang yajna yang keliru juga memberikan pengaruh. Dalam rumusan panca yajna, Rsi Yajna diartikan sebagai korban suci terhadap para Rsi, fatalnya melakukan Diksa dianggap Rsi Yajna, padahal Diksa adalah Mapodgala, prosesi menjadi seorang sulinggih. Padahal Rsi Yajna mirip dengan Brahma Yajna yakni mempelajari Kitab Suci Veda dan mempelajari pengetahuan sebagai Rsi Yajna atau Brahma Yajna. Demikian pula interpretasi Manusa Yajna dianggap sebagai dereta upacara manusia seperti upacara kelahiran, otonan, upacara potong gigi dan sebagainya. Padahal upacara itu adalah Samskara, bukan Manusa Yajna. Tokoh Hindu I Ketut Wiana meyakini banyak interpretasi yang keliru karena tidak dipelajarinya teks-teks Hindu termasuk lontar-lontar Tattwa

Pembelajaran Filsafat untuk para Jñani

Filsafat dianggap sulit untuk dipahami oleh masyarakat awam dan hanya diperuntukkan bagi para kaum cendekiawan. Pandangan ini tidak keliru, sebab secara umum, Veda dibagi menjadi dua bagian yakni karmakāṇḍa dan jñanakāṇḍa, yang pertama berhubungan dengan bagian upacaranya, sedang yang kedua mengandung pengetahuan dari Veda itu sendiri (Vireśvarānanda, 2002:1). Lebih lanjut dikatakan, bagian akhir ini juga dikenal dengan nama Vedānta, akhir dari Veda.

Apa yang tercantum di dalamnya bukan sekedar spekulasi melainkan rekaman dari pengalaman-pengalaman rohani para ṛṣi selama berabad-abad, realisasi nyata atau pemahaman kesadaran maha tinggi. 
Semestinya kaum cendekiawan, para sulinggih (pendeta Hindu), para akademisi, politisi, para pengajar, para guru agama, para Dharma Duta, Dharmapracharaka yang mempelajari filsafat Hindu secara baik. Akan tetapi tampaknya di Indonesia belum menjadi budaya akademik di kalangan Hindu. 

Olehnya, minimnya pengetahuan Brahmavidya akan membuat terbatasnya kemampuan berdioalog dengan agama lain. Selain itu, materi yang diajarkan, atau disampaikan kepada masyarakat akan kurang kaya bahkan relatif membosankan. Para penceramah agama misalnya, kurang menarik minat utamanya bagi kaum muda karena dianggap membosankan dan tidak banyak relevansinya dengan kehidupan yang dijalani. 
Umat Hindu di Bali lebih menekankan pada jalan upacara karmakāṇḍa, tampaknya di masa lalu jalan jñana dianggap tidak begitu penting. Terlebih penterjemahan umat Hindu di Indonesia tentang yajna tidak menjadikan doktrin belajar sebagai yajña, persembahan. Adapun pembagian Rsi yajña dianggap korban suci kepada Rsi, bukan belajar pengetahuan. Akibatnya, memang mempelajari pengetahuan, termasuk pengetahuan Veda tidak dianggap sebagai yajña, hanya sebagai kewajiban manusia pada usia sekolah. 

Semangat belajar itu harus dimiliki oleh kaum muda, apapun pendidikan atau profesi yang ditekuni, mempelajari Veda dan filsafat adalah kewajiban guna menopang kehidupan bahkan membangun kualitas kehidupan yang lebih baik.

Vedānta dalam bentuk Praktis sebagai sebuah Kekuatan

Cendekiawan Hindu Swami Vivekananda menyatakan  Darśana atau filsafat jika tidak dalam bentuk praktis hanya akan bergulat bagi pendebatan intelektual dan tidak akan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. 

Betatapun sifatnya yang intelektual, filsafat harus dapat dipraktiskan, dalam bentuk praktis sehingga memberikan kontribusi nyata bagi peradaban. Sebagaimana halnya filsafat Nyāya memberikan langkah-langkah yang memungkinkan menyadari kebenaran dan membersihkan pikiran dari keragu-raguan sehingga keyakinan kita atas kebenaran kokoh dan tak mampu lagi digoyang dengan paham-paham materialisme yang dapat menyesatkan. 

Nyāya mengasah kecerdasan, kemampuan berpikir, menalar berdebat dan berdiskusi. Kemampuan ini sangat penting selain mengokohkan kebenaran, tetapi juga sangat bermanfaat dalam menjaga peradaban dan penyampaian kebenaran kepada orang lain. 

Saat ini manusia cenderung bertingkah laku bagaikan gunting daripada jarum dengan hasilnya seluruh kecerdasan manusia digunakan untuk memecah masyarakat daripada mempersatukannya, sehingga Filsafat Hindu mengajarkan agar kecerdasan digunakan untuk menyatukan masyarakat dalam paham pluralisme, ada semangat penghargaan atas perbedaan (keragaman), semangat persatuan ditengah perbedaan. 

Hal ini bukan saja membangun manusia cerdas tetapi manusia yang mampu bekerjasama, menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah, memiliki semangat persatuan yang sangat tinggi. 

Memahami teologi Hindu memerlukan cakrawala pandang yang luas, kecerdasan tajam dan halus. Knapp (1992) menguraikan Veda mengandung berbagai jalan yang berbeda. Sebab Veda mengakomodasi perbedaan level kesadaran. Level kesadaran manusia yang berbeda ini dimantapkan dalam berbagai jalan dan cara. Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagavad Gītā IV.11 dan VII.21, yakni jalan manapun yang ditempuh oleh manusia, darimana pun mereka datang, semuanya menuju jalan-Ku dan apapun bentuk keyakinan yang dianut, Aku perlakukan mereka sama dan Aku buat jalan itu menjadi mantap

Inilah alasannya, Hindu merupakan jalan yang universal dan Konsep Tuhan dalam Hindu membangun sistem keberagamaan yang tampak berbeda tetapi dibingkai secara kokoh oleh Veda. 

Perbedaan cara pandang dan berfilsafat, sampai pada perbedaan ritual mendapat tempat yang luas dalam ajaran Hindu. Perbedaan jalan tersebut juga secara fisik akan menunjukkan obyek pemujaan yang berbeda. Bahkan tradisi dan filsafat yang berbeda. Hal ini kerap tidak dipahami secara baik sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda, keliru bahkan dianggap sebagai pertentangan. 

Hindu Dharma menyediakan hidangan bagi setiap orang untuk dapat tumbuh dan berkembang, sesuai dengan kondisi dan perkembangan masing-masing. Olehnya, idealnya tidak ada pertentangan dalam tubuh Hindu karena semua jalan yang berbeda memiliki tujuan yang sama. Sehingga Hindu Dharma dapat dinyatakan sebagai persahabatan dari keyakinan dan suatu gabungan filsafat yang memberikan hidangan guna perenungan bagi para pemikir dan filsuf yang berbeda di muka bumi ini.

Orang-orang Hindu dapat dipisahkan menjadi tiga golongan besar, yaitu Vaiṣṇava, yang memuja Viṣṇu sebagai Dewa pujaan, Saiva yang memuja Shiva sebagai bentuk pribadi Tuhan dan Sakta yang memuja Dewi atau aspek Ibu dari Tuhan. Sebagai tambahan, ada Gaura yang memuja Dewa Matahari, Ganapatya yang memuja Ganesha sebagai yang tertinggi dan Kaumara yang memuja Skanda

Perbedaan pemujaan perwujudan Tuhan ini berada pada tataran konsep Saguna Brahman, yakni Tuhan yang mengambil wujud tertentu agar mudah didekati dan dicintai oleh pemuja-Nya.

Cita-cita Vedānta sangat agung yakni untuk memecahkan masalah kehidupan guna menunjukkan tujuan dari keberadaan dan evolusi manusia di bumi, untuk hidup lebih baik, harmonis dan bermakna. Juga mengajarkan bahwa kesenangan indera, kesenangan tubuh dan kesenangan-kesenangan yang kerap dikejar oleh manusia modern bukan merupakan summum bonum (tujuan utama) bagi kehidupan manusia. 

Eksistensi manusia di jaman ini seolah manusia hidup terbelenggu, seperti budak, terikat menyerah dan lemah. Padahal, Vedānta mengajarkan, kehidupan sebagai manusia adalah kehidupan yang agung, memiliki tujuan besar dan merupakan kehendak universal. Vedānta mengajarkan bagaimana manusia melepas rantai keterikatan dan kelemahan, sebagaimana Sri Krishna telah mengajarkan kepada Arjuna untuk meninggalkan kelemahan dan menyadari dirinya sebagai seorang ksatria sekaligus pemuja Tuhan. 

Abhedananda (2015:39) menegaskan bahwa cita-cita Vedānta adalah menyadarkan manusia pada kekuatan yang dimiliki, betapa megah dan agung sifat dan kekuatan manusia. Olehnya, bagi penganut Vedānta, hidup bukanlah kutukan, bukan pula jalan-jalan penuh penderitaan dan mengutuk ketidak-beruntungan. Penganut Vedānta terbangun menjadi sosok yang kuat yang mampu mengubah racun menjadi amrita. Mampu mengubah tantangan menjadi kesempatan dan hidup dengan semangat yang menyala.

Untuk dunia yang lebih baik, Vedānta akan menjadi agama masa depan. Agama bukan dalam pengertian agama formal semata, melainkan sistem keyakinan yang dapat meresap kedalam setiap hidup manusia. 

Abhedananda (2015:89) menyatakan, Vedānta seperti struktur besar, pondasi yang telah diletakkan, bukan pasir apung dari otoritas kitab suci tertentu atau kepribadian, tetapi diatas batu karang kokoh dari penalaran logis dan ilmiah, dindingnya tidak dibuat dari tanah liat dogma dan takhayul, tetapi dibangun dengan batu-batu pengalaman spiritual, ditempatkan bersusun dengan tangan artistik para waskita-yang mampu melihat kebenaran sejati dari jaman kuno hingga modern. Atap dari struktur luar biasa, melampaui semua langit atas perbedaan agama, yang menjadi bagian kekal, kecerdasan, cinta dan mulia abadi. 

Gerbang megah istana ini dijaga, bukan oleh pengikut setia dan fanatik yang membawa senjata perusak guna mencegah masuknya pemahaman lain, tetapi dengan ketulusan dan kesungguhan, dengan tangan terbuka menyambut orang yang datang sebagai pencari yang tulus dan sungguh-sungguh, pada kebenaran hidup, spiritualitas dan kesadaran ketuhanan, terlepas dari keyakinan atau agama yang dianut atau kebangsaan. Vedānta akan mampu membawa kehidupan yang baik bagi masa depan bumi sebagai sumbangan kebaikan Sanatana Dharma di peradaban ini.